Sponsored
Home
/
Sport

Mengenang Kisah Final Liga Champions 1999 di Camp Nou

Mengenang Kisah Final Liga Champions 1999 di Camp Nou
Preview
dian26 May 2017
Bagikan :

Izinkan saya untuk sedikit bernostalgia. Meliput final Liga Champions 1999 adalah dinas luar negeri pertama saya ke Eropa sebagai wartawan olahraga dan event itu yang paling berkesan di antara yang lain.

Cerita ini tentang Manchester United dan trofi raihan mereka yang super istimewa, Liga Champions edisi 1999 yang digelar 26 Mei. Berarti hari ini, Rabu (26/5), tepat 18 tahun lalu.

Pada musim 1998-1999, Man United, yang ketika itu ditangani oleh Alex Ferguson, belum memakai gelar Sir, mendapatkan tiga trofi.

Trofi pertama yang diraih Man United adalah trofi juara Premier League.

Ketika itu, saya sudah ada di London, di Stadion Highbury. Arsenal masih berharap bisa menjadi juara seandainya United kalah.

Sebelum datang ke London, saya sudah berkomunikasi dengan koresponden BOLA di kota itu, Rob Hughes.

Rob berjanji untuk mencarikan satu tiket di Highbury. Akan tetapi, karena itu adalah laga terakhir musim, tiket Highbury tak tersisa selembar pun.

Rob mengusahakan untuk jatah reporter, namun tidak berhasil juga. Bahkan, sampai ketika saya tiba di London pun tidak ada kemungkinan untuk saya menonton di Highbury. Memang bukan rezeki saya.

Karena tidak mendapat tempat di dalam stadion, saya berdiri di luar stadion, di jalanan, kedinginan bersama banyak suporter Arsenal lain.

Termasuk mereka yang datang langsung dari Swedia. Mereka datang untuk mendukung salah satu gelandang Arsenal dari negeri itu, Freddie Ljungberg.

Pada 16 Mei 1999, Arsenal menang 1-0 atas Aston Villa. Mestinya hal itu bisa membawa Arsenal menjadi juara Premier League asalkan United kalah pada saat yang sama. Namun, bukan itu yang terjadi.

Man United menang 2-1 atas Tottenham Hotspur di Old Trafford. Peter Schmeichel dan kawan-kawannya unggul satu poin di klasemen dan menjadi juara Premier League.

Satu pekan kemudian, United berharap bisa menjuarai Piala FA. Saya pun datang ke Stadion Wembley. Versi kuno, bukan versi baru. Lawan United di final adalah Newcastle United.

Sekali lagi, saya tidak bisa nonton di dalam stadion. Tiket sudah sold out. Akhirnya, saya hanya bisa berkumpul bersama para suporter Newcastle yang juga tidak mendapat tiket. Banyak juga suporter United.

Saking bosannya, karena hanya bisa mendengar berita dari radio, plus rasa iri bukan main ketika mendengar gemuruh suara penonton dari stadion, saya sempat menendang-nendang bola bersama mereka.

United menang lagi. Trofi kedua musim itu pun diraih. Two down, one to go.

Yang terakhir, yang paling penting, Liga Champions, sudah menanti. Bayern Muenchen siap menghadapi Man United di Stadion Camp Nou, Barcelona.

Kali ini, saya bisa menyombongkan diri. Ketika berangkat dari Bandara Heathrow di London, salah satu petugas bandara mendapati bahwa saya akan berangkat ke Barcelona.

Dia pun bertanya apakah saya punya tiket buat nonton United. Saya jawab dengan yakin: “Iya!”.

Saya punya akses sebagai jurnalis, tiket memang belum di tangan, yang ada adalah surat pengantar dari UEFA untuk mengambil tiket. Sama saja, tho?

Di Barcelona, dengan bantuan dari Kedutaan Besar RI di Spanyol yang bermarkas di Madrid, saya ditempatkan di sebuah apartemen milik sepasang suami-istri.

Sang suami, Senor Canova, asli Barcelona. Sementara istrinya, terus terang saya lupa namanya, berasal dari Republik Ceska.

Saya tak perlu khawatir soal bahasa Spanyol. Saat itu, saya masih buta sama soal bahasa itu. Saya lebih lancar berbahasa tarzan ketika di bandara Barcelona.

Pak Canova dan istrinya lancar ngomong Inggris. Jadi, bereslah.

Satu hari sebelum laga, saya nonton para pemain United dan Bayern berlatih di Camp Nou.

Akhirnya Rabu, 26 Mei 1999, pun tiba. Saya bersiap untuk berangkat lebih awal. Pertandingan dimulai pukul 20.45 waktu Spanyol, waktu khas UEFA buat laga antarklub di Eropa.

Dari apartemen menuju Camp Nou, saya harus naik subway. Saya berada satu gerbong bersama suporter Man United.

Mereka memenuhi satu gerbong. Baiklah, saya ikut berdiri bersama mereka, tak mungkin duduk, karena kereta penuh.

Selama perjalanan, mereka terus bernyanyi. Gembira deh pokoknya. Sampai-sampai pipi saya kena cium salah satu dari mereka. Waduh!

Sekitar 30 menit kemudian, saya tiba di Camp Nou. Kalau satu hari sebelumnya lokasi stadion itu sangat sepi, tidak demikian dengan hari pertandingan. Ramai sekali!

Bisa dimaklumi. Jumlah penonton yang masuk ke Camp Nou hari itu lebih dari 90 ribu pasang mata, termasuk kedua mata saya. Tidak heran kalau jalan di sekitar stadion sangat penuh.

Saya bergegas menuju gate tempat saya seharusnya masuk. Wuih harus mengantre, terutama untuk menggunakan lift.

Mau naik tangga bisa saja, namun saya tidak mau. Camp Nou sangat, sangat tinggi. Selain itu, saya juga bakal merasa kehausan.

Botol air mineral saya sudah disita oleh penjaga di pintu masuk, nun di bawah sana. Tidak boleh ada botol minum yang masuk stadion.

Kami, media, mendapat tempat duduk di tribun tertinggi. Sebagai observer, saya ditempatkan di sana. Demikian pula dengan berbagai jurnalis dari berbagai media yang tidak berhubungan langsung dengan kedua klub.

Seandainya takut pada ketinggian, pasti saya sudah langsung turun lagi, meski mungkin tidak keluar dari stadion.

Camp Nou sangat curam. Entah berapa meter jarak antara tribun tertinggi dengan lapangan. Saya tidak takut ketinggian, namun tetap saja kedua lutut ini gemetaran.

Kick-off! Lha, saking tingginya tempat duduk, saya tidak bisa melihat dengan jelas para pemainnya, meski sudah mengenakan kacamata.

Saya kemudian mengeluarkan kamera, masih kamera konvesional, belum digital, dengan lensa 80-200 mm yang saya bawa.

Lumayan, meski kalau untuk mengambil gambar, tetap saja hopeless, saking jauhnya. Ya, sudah saya nikmati saja pertandingan.

Entah mengapa, rupanya saya memberi kesan kepada penonton (baca: jurnalis) di sekitar saya bahwa saya adalah suporter Manchester United.

Meski mereka juga tahu saya adalah jurnalis karena ID card dari UEFA yang tergantung di leher saya.

Saya tenang-tenang, sampai akhirnya United kebobolan. Mario Basler membuat gol pada menit ke-6.

Saya kaget juga, karena saya pikir Peter Schmeichel itu kiper yang hebat. Mungkin, tanpa saya sadari, saya pasang wajah sedih, jadi orang-orang di sekitar saya semakin yakin kalau saya pendukung United.

Babak pertama kelar. Saya pikir, mungkin memang belum waktunya buat United untuk menjadi juara Liga Champions. Mungkin musim depan.

Sepanjang babak kedua, saya mulai yakin dengan prediksi itu. United memang belum bisa menjadi juara Liga Champions. Namun, rupanya saya terlalu cepat berasumsi.

Sampai kemudian Teddy Sheringham membuat gol penyama kedudukan di injury time.

Tahu, tidak? Camp Nou bergetar hebat! Saya sudah takut kalau stadion itu rubuh. Efek gol Sheringham, yang menggantikan Jesper Blomqvist, bukan main.

Kelihatannya laga akan dilanjutkan dengan perpanjangan waktu. Soalnya, gol itu tercetak pada injury time.

Namun, sekali lagi saya terlalu cepat membuat prediksi. David Beckham punya kesempatan untuk membuat sepak pojok lagi dan kali ini giliran Ole Gunnar Solskjaer yang menerima bola dan menggolkannya ke gawang Oliver Kahn.

Setelah saya baca di berbagai sumber, gol pertama terjadi 36 detik setelah wasit menyebut stoppage time 3 menit. Sementara gol kedua terjadi pada menit ke-92 lebih 17 detik!

Tidak ada perpanjangan waktu! United menjadi juara Liga Champions dan saya pun mendapatkan selamat dari mereka yang duduk di sekeliling saya!

Saya sama sekali tidak berusaha untuk menerangkan kepada mereka bahwa saya bukan suporter United. Membuat orang senang kan pahala juga, ya?

Liga Champions melengkapi dua gelar yang telah diraih United sebelumnya.

Man United sulit untuk merebut tiga trofi lagi dalam satu musim, hingga musim 2016-2017. Mereka juga meraih tiga silverware, hanya saja dalam skala yang lebih kecil. Namun, tetap saja tiga trofi.

Saya senang bisa menjadi saksi sukses United malam itu. 

© Juara
populerRelated Article