Home
/
Lifestyle

Jomlo di Korea Selatan Meningkat karena Takut Menikah dan Berkomitmen

Jomlo di Korea Selatan Meningkat karena Takut Menikah dan Berkomitmen
Marcia Audita23 January 2019
Bagikan :

“Orang tua saya selalu menekan [tentang pernikahan] setiap kali saya berkunjung. Awalnya, mungkin mereka hanya sekadar bercanda. Tapi, di akhir obrolan, tensi pembicaraan berubah semakin serius.” 

Keluhan-keluhan ini akan jamak ditemui di Korea Selatan. Mereka menutup mata dan telinga rapat-rapat jika dihantui satu pertanyaan pamungkas: Kapan menikah?

Sebagian berpendapat pertanyaan semacam ini cenderung kasar dan tak perlu. Desakan yang kian konstan semakin membuat mereka enggan menikah. Bahkan fakta terbaru, banyak dari mereka yang tidak ingin berkencan atau berkomitmen. 

“Ketika saya bertemu orang-orang untuk pertama kalinya, mereka bertanya kepada saya mengapa saya tidak menikah. Sangat umum bagi orang Korea yang lebih tua untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini,” kata seorang perempuan Korea Selatan (32) yang berprofesi sebagai pekerja lepas, dilansir South China Morning Post (SCMP), Rabu (23/1).

Preview

Korea Selatan darurat jomlo

SCMP menggunakan laporan The Korea Herald untuk memperkuat data. Pada 2015, sekitar 90 persen laki-laki dan 77 persen perempuan dalam rentang 25 hingga 29 tahun masih lajang --single--jomlo-- belum terikat pernikahan. Alih-alih pernikahan, pacaran pun enggan. 

Survei Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial pada Januari menemukan fakta serupa. Laporan per 2012, warga Korea Selatan yang aktif menjalin hubungan dan ikatan berada di bawah angka 40 persen. 

Sebagai perbandingan, Institut Nasional Kependudukan dan Penelitian Jaminan Sosial di Jepang mengungkap fakta bahwa 23 persen pria Korea Selatan belum pernah menikah hingga usia 50 tahun, sementara perempuan berada di angka 14 persen. 

Gejala Single-person household

Kang Hyeoun-jung (nama samaran) begitu menikmati kehidupan melajangnya di usia 45 tahun. Kang tinggal seorang diri di rumahnya selama 20 tahun. 

“Bukannya saya memutuskan sejak awal untuk tetap melajang, tetapi entah bagaimana saya telah mencapai usia 40-an dan saya masih sendirian. Pada titik ini, saya sudah terbiasa hidup sendirian, dan saya tidak merasa harus menikah di masa depan,” kata Kang dilansir Hani. 

Kang tinggal di sebuah vila dengan tiga kamar, lengkap dengan ruang tamu yang terpisah. “Saya punya banyak buku, jadi saya menggunakan kamar terbesar sebagai ruang belajar, dan menggunakan yang kecil sebagai kamar tidur. Karena saya tinggal sendiri, saya dapat menyesuaikan ruang untuk memenuhi kebutuhan saya,” katanya.

Preview

Single-person household sebelumnya didefinisikan sebagai seseorang yang telah menikah dan terpaksa harus tinggal sendiri karena berpisah dengan pasangannya yang sudah meninggal dunia maupun karena perceraian. Namun, saat ini, makna single-person household diperluas (atau melebar?). Sebagian mereka yang menghuni rumah sendiri justru masih melajang. 

"Tampaknya alasan terbesar adalah bahwa mereka yang tidak menuntut perlunya pernikahan telah mencapai usia setengah baya," kata Yang Dong-hee, kepala sensus populasi Kantor Statistik Nasional. 

Apa yang membuat mereka takut berkomitmen?

1. Ekonomi

Menikah dan memiliki anak kerap dianggap akan menambah beban pengeluaran. Mereka juga memikirkan biaya pernikahan dan resepsi yang begitu rumit. Merujuk survei pada 2013, pasangan Korea Selatan rata-rata menghabiskan USD 90.000 untuk biaya pernikahan, termasuk biaya resepsi, hadiah pernikahan untuk mertua dan barang-barang lainnya.

2. Workaholic

Budaya yang memprioritaskan pekerjaan menjadi alasan lain mengapa orang Korea Selatan lebih suka melajang. Data OECD menunjukkan pada tahun 2017, rata-rata warga Korea Selatan bekerja hampir 250 jam, lebih banyak daripada orang-orang AS. 

Sebetulnya, sejak 2005, pemerintah telah menghabiskan 36 triliun Won (US $ 32,1 miliar) untuk mengurangi beban keuangan memiliki anak. Mereka menawarkan subsidi pengasuhan anak sebesar 300.000 won (USD 268) per bulan di samping insentif lain untuk keluarga muda. Pemerintah juga tak segan memperpanjang cuti ayah menjadi dua tahun dari yang sebelumnya. Namun, upaya semacam itu belum membuat dampak yang substansial. 

"Itu tidak berhasil karena dari sudut pandang generasi muda, biaya [sosial dan ekonomi] pernikahan dan melahirkan anak terlalu tinggi dan tingkat dukungan pemerintah saat ini tidak cukup," kata Kang. 

Preview

Ketakutan akan menikah tak melulu perkara ekonomi. Seorang perempuan (32) di Seoul berpendapat banyak perempuan yang merasa diperlakukan tidak adil setelah menikah. Terutama soal pekerjaan-- di negara yang mereka nilai sangat konservatif dan patriarkis--

Shin Gi-wook, seorang profesor sosiologi di Universitas Stanford, mengatakan perempuan juga merasa sulit untuk menyeimbangkan karier dengan harapan masyarakat yang ada pada mereka.

"Sistem pendukung sosial belum ada [dan] institusi sosial masih dikendalikan oleh laki-laki dan laki-laki sentris," katanya. “Peran ganda yang diharapkan dimainkan oleh para pekerja perempuan dalam keluarga dan di masyarakat. Karena ibu, istri, menantu perempuan ...mempersulit mereka untuk memprioritaskan pernikahan dan peran sebagai ibu di atas karier mereka.”

Preview

Bisa dibilang, Korea Selatan sedang was-was. Sebagai catatan, tingkat kelahiran Korea Selatan merupakan yang terendah di dunia. Per 2018, tingkat kelahiran turun menjadi 0,95. Itu berarti, dari 100 perempuan di Korea Selatan, hanya 95 anak yang lahir setiap tahunnya. 

Hal ini berbanding terbalik dengan Korea Selatan di awal ‘70-an. Saat itu, hampir 1 juta bayi dilahirkan setiap tahun. Namun per 2017, angka itu menyusut menjadi 357.000 bayi. 

Imbasnya? 

Banyak masyarakat dengan usia tak produktif --atau hampir tak produktif--semakin banyak dijumpai. Mengutip laporan ekonom Lee Jjong-wha dari Universitas Korea, diperkirakan pada 2030 hampir sepertiga warga Korea Selatan akan berusia 65 tahun. 

Ekonom sekaligus Direktur Institut Pembangunan Berkelanjutan Universitas Korea, Kang Sung-jin, menganggap hal tersebut berdampak pada perekonomian Korea Selatan. Pasalnya, perusahaan akan lebih membutuhkan orang-orang dengan usia produktif. 

"Pasokan tenaga kerja yang menurun mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi," katanya. "Dan jumlah lansia yang tinggi berarti pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak untuk biaya kesejahteraan, yang berarti bahwa generasi muda akan membayar lebih banyak pajak."

populerRelated Article